KOLOBOLON, ROLLE.id–Oefamba, jauh sebelum jejak kaki pengunjung menapakinya, merupakan hutan larangan yang tak sembarang bisa dimasuki.
Di balik rimbunnya pepohonan, tersimpan hukum adat yang ketat dan sakral. Daerah seluas kurang lebih 30 hektare ini dulunya dijaga dengan aturan yang lebih tua dari hukum negara. Ada aturan yang lahir dari mulut leluhur dan disepakati para tetua adat.
Dulu,.masuk ke wilayah hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu, pada waktu tertentu pula. Bukan karena mitos atau mistik. Tetapi karena begitu tingginya nilai penghormatan terhadap tanah dan air.
Sumber air yang mengalir dari perut bumi menjadi denyut kehidupan. Di sekitarnya, tumbuh tanaman sirih, pinang, dan kelapa yang ditanam, dijaga ketat dengan nilai. Siapa yang melanggar aturan adat, dikenai sanksi yang tak main-main.

“Satu ekor kambing atau domba untuk pelanggaran ringan. Satu ekor babi untuk yang sedang, dan untuk pelanggaran berat, bahkan bisa kehilangan hak milik atas tanah,” ungkap Bena Adu, Sekretaris Desa Kolobolon, dengan nada tenang namun dalam.
Namun, masyarakat tak mengenal kekerasan. Sebelum sanksi dijatuhkan, ada proses ‘kokoe’ permohonan maaf dan pengampunan yang diajukan kepada Manaholo, sang penjaga kawasan hukum adat, Manaholo.
Manaholo, bukan sembarang orang. Ia dipilih oleh suku, dipercayakan menjaga marwah leluhur. “Masa jabatannya satu tahun, dan biasanya berasal dari suku Oefamba. Kadang ada juga dari suku lain, tergantung keputusan adat,” tambah Bena.
Dengan panjang pagar mencapai 4.000 meter, Oefamba dilingkari bukan hanya oleh kawat, tapi juga oleh kesadaran kolektif untuk melindungi. Ada lebih dari 200 pemilik lahan di kawasan ini, termasuk dari desa tetangga seperti Loleoen.
Namun zaman berubah. Suatu hari, pintu Oefamba dibuka. Bukan karena nilai adat pudar, tapi karena keindahan yang tak bisa disembunyikan.

Air terjun yang jatuh anggun dari batuan, pepohonan tinggi yang membisikkan nyanyian alam, menjadi magnet yang memanggil wisatawan.
Kini siapa saja boleh masuk, asalkan tak merusak. Tidak boleh menebang pohon. Tidak boleh membuang sampah. Di sini, adat dan alam berjalan bergandengan tangan, melindungi satu sama lain.
Dan untuk menjaga kelestariannya, Pemerintah Desa Kolobolon menetapkan Peraturan Desa. Oefamba resmi dikelola sebagai destinasi wisata. Retribusi pun mulai diberlakukan, bukan untuk membatasi, tapi untuk memelihara, semenjak tahun 2021.
“Ada Perdes mengatur tentang pungutan. Dewasa Rp. 2.000, anak-anak Rp. 1.000. Kendaraan roda dua Rp. 2.000, roda empat Rp. 5.000,” jelas Bena.
Oefamba memang bukan sekadar tempat rekreasi. Ia adalah pelajaran hidup tentang harmoni antara budaya, alam, dan manusia. Datanglah ke sini, bukan hanya untuk menyegarkan mata, tapi juga menenangkan jiwa. (*/ROLLE/ADV/JIT)