Bagi masyarakat Rote Ndao, Oemau, memang sudah tak asing lagi. Letaknya saat ini di wilayah Desa persiapan Loman, yang sebelumnya Kelurahan Mokdale, Kecamatan Lobalain, Rote Ndao.
Belum terlalu banyak yang mengetahui tentang bagaimana ditemukan sumber air tersebut. Di mana, mata air itu, mula-mula ditemukan oleh seekor anjing pemburu,
Dari penemuan tersebut, terjadi klaim terhadap siapa yang lebih dulu menemukan. Namun, atas pertimbangan yang begitu bijak, demi anak cucu di kemudian hari, klaim tersebut berujung damai.
Walau demikian, dalam catatan sejarah penemuanya, tetap diakui hingga saat ini. Pihak-pihak yang diyakini sebagai penemu dan pemilik, tetap diakui. Identitas juga tempat, abadi dalam tutur syair, turun-temurun dituturkan hingga saat ini.
Sebagaimana kembali dikisahkan, ada seorang pemburu pergi berburu membawa serta seekor anjing. Di musim itu, dalam cerita adalah musim kemarau, sehingga panas yang begitu menyengat, membuat si pemburu harus rehat sebentar.
Di bawah rindangnya sebuah pohon yang tidak disebutkan namanya, si pemburu kemudian melepas penatnya. Sementara anjingnya tidak bersamanya di saat ia berteduh. Dan si pemburu itu dikisahkan merupakan leluhur Suki.
“Setelah anjingnya kembali, terlihat ada bekas lumpur di kakinya. Perutnya (anjing) pun tidak seperti semula. Semakin membesar, yang diduga minum air, membuatnya (leluhur suki) semakin curiga,” tutur Lazarus Manuain, Manelaeo Modok, dalama acara Hoholok, di kolam Oemau beberapa tahun silam.
Leluhur itu pun, kata Lazarus, tak putus asa. Sehingga di hari berikutnya, ia kembali berburu. Selain mencari hewan buruan, dirinya berharap bisa menemukan sumber air sebagaimana tanda dari anjingnya.
“Leluhur Suki, sudah berusaha keras, tetapi tidak berhasil menemukan,” kata Lazarus.
Di hari yang sama, leluhur Kunak, juga sedang berburu. Sumber air yang dicari leluhur Suki, akhirnya ditemukan leluhur Kunak. Kemudian ditutupi bagian permukaan dengan menggunakan daun kering dan juga batu datar.
Tindakan yang dilakukan oleh leluhur Kunak, mungkin saja dimaksudkan untuk melindungi. Dan setelah melakukanya, kedua leluhur itu kemudian bertemu dengan membangun sebuah dialog tentang sumber air tersebut.
Kepada leluhur Kunak, disampaikan bahwa dirinya (leluhur Suki) belum menemukan sumber air yang di hari sebelumnya ditemukan oleh anjingnya. Karena sudah menutup dengan batu dan daun kering, leluhur Kunak, semakin yakin bahwa dirinya yang lebih dulu menemukan.
“Leluhur kunak menjawab, bahwa anjingnya yang lebih dulu menemukan air. Sambil berkata itu, ditunjukan tempat sumber air yang sudah ditutup,” kata Lazarus.
Walau sudah ditunjukan tempatnya, leluhur Suki, tetap mengklaim bahwa anjinya yang terlebih dahulu menemukan. Klaim tersebut, didasarkan dari tanda yang dibawa oleh anjingnya, sehari sebelumnya disaat dirinya sedang beristirahat.
Namun demikian, alasan yang disampaikan oleh leluhur Kunak, ada benarnya. Karena, walau ditemukan oleh anjing leluhur Suki, tetapi tidak ditemukan saat berusaha mencari di hari berikutnya.
“Mungkin anjingmu minum yang ditemukan anjing saya,” kata leluhur Kunak kepada leluhur Suki, dari kisah yang diceritakan oleh Lazarus.
“Mereka berdua saling klaim. Leluhur Suki, tetap bersikeras, begitu pun sebaliknya. Akhirnya, mereka sepakat minta pertimbangan leluhur Modok,” sambungnya.
Keputusanya, leluhur Kunak, merupakan penemu sumber air sehingga diputuskan menjadi pemilik. Walau demikian, untuk menandakan bahwa air tersebut bisa digunakan oleh semua orang, maka disepakati untuk menggunakan nama Oemau. Yang berarti, siapa saja tidak terkecuali, boleh atau mau mengambil air, dipersilahkan mengambil air di sumber mata air tersebut.
“Leluhur modok kemudian meyakinkan bahwa mata air itu pertama-tama dilihat oleh leluhur Kunak, sehingga menjadi milik leluhur Kunak. Tapi mereka tidak menamakan mata air ‘Mau’ itu tapi Oemau,” tuturnya.
Dari kebijaksanaan yang ditunjukan oleh para leluhur waktu itu, Oemau, kemudian digunakan oleh semua orang. Selain dikembangkan sebagai tempat permandian, Oemau, juga digunakan untuk mengairi beberapa lokasi persawahan. Begitu juga untuk memenuhi kebutuhan air bersih oleh masyarakat di Ba’a.
Oemau, juga merupakan satu tempat reaksi di pusat ibu kota Rote Ndao, dengan panorama alam yang tetap terjaga dengan hukum-hukum adat. Pohon berusia ratusan tahun masih tumbuh hingga saat ini. Begitu juga pohon kelapa dan pinang, ditanam untuk menjaga sumber air, sekaligus menambah keasrian alamnya yang khas.
Dengan history dan hukum-hukum adat yang masih dipegang hingga saat ini, air Oemau, dipilih pemerintah Kabupaten Rote Ndao, untuk dibawa ke Kalimantan. Pemilihan ini menyusul adanya permintaan pemerintah pusat untuk menyatukan air dan tanah dari wilayah Nusantara, untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN).
Sehingga, melalui pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur, Rote Ndao, bersama tiga kabupaten lainnya, membawa air, masing-masing satu liter. Dengan pengambilanya tidak biasa. Yang dilakukan melalui proses ritual adat daerah setempat.
Dan di Oemau, prosesi ritualnya dijalankan. Sejumlah tokoh-tokoh adat dari suku-suku yang diyakini mengetahui kepemilikanya, berpakaian lengkap khas Rote Ndao. Begitu juga Bupati Rote Ndao, Paulina Haning-Bullu dan Wakil Bupati, Stefanus M. Saek, mengikuti prosesi ritual.
Semuanya bersatu, mohonkan restu para leluhur. Satu liter air diambil dengan menggunakan ‘haik’ oleh tokoh adat. Dimana haik merupakan alat yang pada jaman dahulu digunakan sebagai wadah penampung air, juga sebagi gelas.
Seekor domba putih disembelih. Tak lupa sirih pinang juga ditaruh serta, sebagai wujud permohonan restu dan ungkapan terima kasih. Dengan rentetan ritual adatnya disaksikan langsung oleh Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao.
“Nau Felama Oen ma Liu Taililo Daen,” demikian sepenggal tuturan syair, oleh seorang tokoh adat, untuk menyapa leluhur saat menyajikan sesaji yang dibawa untuk mengambil air, Kamis (10/3).
Semua prosesi diiringi bunyi gong. Yang setelah mengambil air, dua orang diantara para tokoh adat itu, masing-masing memegang haik dan kapisak. Di mana, didalam kapisak juga terdapat haik yang berisikan air, dengan selembar tenunan berukuran kecil/salempang, diikat di tali pegangan kapisak.
Saat menerima, Bupati Rote Ndao, Paulina Haning-Bullu, menyampaikan terima kasihnya. Terhadap para leluhur juga kepada pemerintah provinsi. Tak lupa kepada pemerintah pusat, yang memberi kesempatan kepada Rote Ndao, untuk berkontribusi terhadap pembentukan IKN di Kalimantan Timur.
“Hari ini, Kamis (10/3) kami sangat bersyukur. Atas seijin para leluhur, kami bisa mengambil air di mata air Oemau. Selanjutnya kami akan menyerahkan kepada bapak Gubernur NTT, untuk disatukan dan dibawa ke Kalimantan Timur, untuk membangun IKN,” kata Bupati Paulina.
Tak hanya itu, dengan diambilnya air Oemau, meninggalkan kesan tersendiri terhadap suku Kunak. Walau hanya seliter yang dibawa, namun rasa bangga yang dirasakan begitu besar. Dan mereka menyatakanya melalui Manaleo Umum Leo Kunak, Yohanis B. Ndolu.
“Ada rasa bangga yang ditinggalkan kepada seluruh rumpun suku kami. Bahwa tercatat dalam sejarah, kami berkontribusi bagi IKN. Air Oemau, dibawa dari Rote Ndao,” Yohanis B. Ndolu.
“Kami berterima kasih kepada bapak Presiden, Gubernur NTT, dan lebih khusus kepada mama Bupati Paulina, karena telah memilih air Oemau. Dan inilah kebanggaan kami, keluarga besar suku Kunak,” kata Yohanis. (Sumber : Timor Express, Edisi Kamis (17/3)