Puisi Gracia dan Air Mata yang Jatuh Diam-diam, Pengabdian Bhayangkara Tak Pernah Sendiri

BA’A, ROLLE.id–Tidak ada yang menyangka bahwa sebuah puisi mampu membuat ruang syukuran itu terdiam. Tapi begitulah suasana yang terjadi di halaman Polres Rote Ndao, Selasa siang, tanggal 1 Juli 2025.

Di tengah sukacita merayakan hari Bhayangkara ke-79, ada sepotong kisah yang menyusup pelan, lewat suara seorang siswi. Bait-bait puisinya begitu menggugah hati.

Namanya Gracia Leu. Siswa kelas XI SMAN 1 Pantai Baru itu berdiri anggun, menggenggam mikrofon. Suara lembutnya menarik semua perhatian tertuju padanya.

Ia membacakan puisi berjudul “Gelisahku Rinduku” karya Kapolsek Pantai Baru, IPTU I Gede Putu Parwata, dengan penghayatan yang membuat banyak tamu menunduk haru.

Puisi itu tidak dibuat untuk gagah-gagahan. Tidak juga berisi kemegahan atau heroisme.

Tapi justru sederhana dan sangat manusiawi. Ia bercerita tentang rindu yang diam-diam tumbuh di dada seorang Bhayangkari.

Tentang tabah yang tak diumumkan. Tentang cinta yang sabar menunggu suami pulang dari tugas menjaga keamanan negeri ini.

“Ku yakinkan diri ini, cinta kasihmu tetap mekar di hatiku,” lantun Gracia, dengan suara bergetar.

Beberapa hadirin tampak menahan napas. Seorang ibu Bhayangkari di barisan tengah terlihat menyeka air mata. Di matanya, bait-bait itu seperti menyalin isi hati yang selama ini disimpan sendiri.

Kapolsek Pantai Baru, yang akrab dikenal Komandan Barbar, pencipta puisi itu, mengatakan, puisinya adalah hadiah kecil untuk para Bhayangkari.

“Mereka sering kali luput dari sorotan. Padahal, mereka juga pejuang, dalam bentuk yang berbeda. Bertahan di rumah, di balik pintu, dengan doa dan keteguhan,” ucapnya pelan, seusai acara.

Momen pembacaan puisi itu menjadi titik tenang yang menyentuh di antara seluruh rangkaian hari Bhayangkara. Tidak ada tepuk tangan meriah, tidak ada sorakan. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Ia menyentuh diam-diam, dan menetap lama di hati.

Penampilan Gracia bukan sekadar hiburan. Ia adalah pengingat, bahwa di balik seragam, dan rotan barikade, ada sisi lain yang rentan dan manusiawi.

Ada rasa takut, ada rindu, dan pengharapan yang tetap menggebu saat jarak memisahkan istri, dan suami untuk waktu yang lama.

Di penghujung penampilannya, Gracia menunduk, lalu tersenyum. Ia tak menyangka puisi yang dibawakannya mampu menggerakkan hati banyak orang.

Tapi mungkin, itulah kekuatan sastra yang jujur. Ia tidak selalu butuh panggung besar. Cukup sepotong hati yang bersedia mendengar.

Dan perayaan hari Bhayangkara ke-79 di Rote Ndao telah selesai. Tapi gema puisi itu mungkin akan terus terdengar di rumah-rumah Bhayangkari.

Dalam pelukan anak-anak yang menanti ayah mereka pulang. Dan di hati para Bhayangkara, yang tahu bahwa mereka tak pernah benar-benar sendiri. (*/ROLLE/JIT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.