JAKARTA, ROLLE.id–Paket Ita Esa, pemenang Pilkada Rote Ndao, tetap santun menghadapi gugatan Lontar Malole di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasangan pemenangnya adalah Paulus Henuk, Bupati Rote Ndao terpilih, dan Apremoi Dudelusy Dethan, sebagai Wakil Bupati.
Dengan hasil pleno yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Paulus-Apremoi, mengantongi lebih banyak suara rakyat Rote Ndao.
Yakni 40.474 suara (53,41%) disusul 26.008 suara (34.33%) oleh Paulina Bulu, dan Sandro Fanggidae, paket Lentera.
Kemudian di urutan buntut, ditempati paket Lontar Malole, pasangan Vicoas Trisula Bakti Amalo, dan Bima Theodorus Fanggidae. 9.296 suara (12,26%) merupakan total suara raihannya.
Hasil itu memperlihatkan selisih perolehan suara yang berjarak sangat jauh. Sebanyak 31.178 suara dari Ita Esa, sebagai paket pemenang Pilkada Rote Ndao.
Walau demikian, Lontar Malole tetap ‘ngotot’ menggugat ke MK. Mereka mengadu keabsahan ijasah paket C Apremoi Dudulesy Dethan, Wakil Bupati Rote Ndao terpilih. Ditambah politik uang yang disangkakan kepada paket Ita Esa, pasca menang Pilkada.
“Tim hukum tentu akan memberikan keterangan, dan argumentasi hukum tandingan yang professional, berimbang dan akurat bagi MK dalam menyidangkan perkara ini,” jelas pengacara/ketua tim hukum paket Ita Esa, Prof. Yafet Rissy, dalam keterangan persnya, dan diterima ROTE MALOLE, Senin (6/1).
“Untuk itu, saya menghimbau kepada rakyat Rote Ndao agar bersikap dewasa, cerdas, dan tetap tenang menghadapi persidangan ini,” sambungnya menghimbau.
Lanjutnya, tim hukum yang ia pimpin telah menemukan, dan mengidentifikasi sejumlah cacat hukum fundamental terkait permohan paket Lontar Malole, yang kalah Pilkada Rote Ndao.
Pertama, permohonan sengaja mengaburkan perbedaan perolehan suara yang sangat besar antara Paket Ita Esa, dan Paket Lontar Malole. Padahal pokok selisih di MK seharusnya adalah perselisihan suara yang bersifat menentukan.
Sebagaimana diatur dalam pasal 158 ayat (2) huruf c, Undang-undang nomor 10 tahun 2016 juncto ketentuan pasal 2 PMK nomor 3 tahun 2024.
“Kami tidak melihat adanya ratio legis (alasan hukum) yang memadai bagi MK untuk mengenyampingkan keberlakukan ketentuan,” tulis Yafet.
“Kedua, jika yang dipersoalkan adalah keabsahan Ijazah Paket C milik Apremoi Dudulesy Dethan, maka dalil seperti ini menyesatkan. Karena MK, tidak memiliki kewenangan absolut (absolute competence) untuk menyatakan keabsahan ijasah milik siapapun,” ungkapnya.
Ketiga, terkait politik uang, Yafet menyebut tuduhan tersebut bersifat utopis alias ilusionir. Karena sama sekali tidak ada nalar hukum dan fakta.
Sebab, praktik politik uang yang merupakan tindak pidana Pemilu, tapi tidak laporan yang disampaikan ke sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
“Tuduhan politik uang yang disampaikan kepada Paket Ita Esa, adalah tuduhan yang ngawur, dan tidak berdasar hukum dan bukti,” tegas Yafet.
“Saya optimis bahwa MK akan konsisten dalam mengawal dan melaksanakan kewenangan absolutenya,” yakinnya. (*/ROLLE/JIT)