NUSE, ROLLE.id—Nuse, sebuah pulau kecil yang dahulu kosong, kini merupakan sebuah desa dengan penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan. Walau kecil, namun di atas pulau ini, Tuhan menunjukan karyaNya yang luar biasa. Alamnya begitu indah, yang menyimpan sejuta kekayaan, baik di laut dan darat, yang belum banyak diketahui.
Nuse, pada zaman dahulu, merupakan sebuah pulau tak berpenghuni. Pulau ini, dalam kisahnya, mula-mula diduduki setelah terdampar sebuah perahu dari Sabu, yang ditumpangi oleh dua orang.
Kedua leluhur tersebut adalah Ama Rohi dan Ina Kore. Namun, keduanya, hanya tinggal sebentar, karena di pulau tersebut memang tidak ada siapa-siapa.
Sebelum pergi, keduanya berusaha mencari sumber air, karena persediaan yang dibawa sudah hampir habis. Akhirnya, ditemukan setelah menggali sumur yang hingga kini dikenal dengan nama ‘oe ama Rohi’. Yang berarti sumur ama Rohi.
“Sumurnya masih ada di Saindao, di bagian Barat pulau Nuse. Namanya sumur ama Rohi, atau oe ama Rohi,” tutur Kepala Desa Nuse, Hesron Pasole, kepada ROLLE.id, Kamis (5/5)
Hesron, mengisahkan, berselang beberapa waktu setelah kepergian Ama Rohi dan Ina Kore dari pulau Nuse, datanglah penduduk dari daerah Oenale. Namanya ‘Ba’i Po, bersama beberapa keluarganya yang merupakan suku Pasole.
Walau sudah ada yang menginjakan kaki di pulau tersebut, tetap saja Nuse belum memiliki nama. Yang kemudian nama Nuse, diambil dari kata ‘Nus’ yang berarti cumi-cumi.
“Waktu itu, bangsa Portugis ketemu dan tanya nama pulau kepada ba’i Po, yang baru pulang dari laut. Tapi karena tidak mengerti bahasa Portugis, maka ba’i Po, bilang Nus,” kata Hesron.
“Kebetulan ba’i Po, ada bawa beberapa ekor cumi-cumi, maka dikira itu yang ditanya. Karena ‘Nus’ dalam bahasa Oenale, adalah cumi-cumi. Sehingga Nuse mulai dipakai oleh bangsa Portugis sebagai nama pulau kami hingga saat ini,” sambungnya.
Tak hanya ba’i Po dan keluarganya, beberapa suku di Oenale, kemudian berdatangan untuk tinggal di pulau Nuse. Dengan hasil laut yang melimpah merupakan sumber penghasilan utama penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
Dalam catatan sejarahnya, Nuse, menjadi bagian dari kerajaan Ndao, yang dipimpin oleh raja Sadrak Kotten. Di mana, terdapat lima orang temukung yang bertugas membantu sang raja. Dan satu dari lima orang temukung, adalah Fredik Pasole, sebagai Temukung di pulau Nuse.
Pada perkembangan selanjutnya, hingga Rote Ndao berdiri sebagai daerah otonom pada tahun 2002, Nuse, masih merupakan sebuah wilayah dusun dari Desa Ndao Nuse, Kecamatan Rote Barat. Yang kemudian berkembang menjadi desa persiapan di tahun 2010.
“Setelah masa kerajaan dihapus, Ndao dan Nuse menjadi satu desa yaitu Desa Ndao Nuse. Lalu pada tahun 2010, Nuse menjadi desa persiapan yang dijabat oleh penjabat Kepala Desa (Kades) persiapan, Jermias O Lani,” kata Hesron.
Dari desa persiapan, Nuse, kemudian berubah status menjadi desa definitf. Yang kemudian melalui hasil Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), Hesron Pasole, terpilih sebagai Kades Nuse pertama, yang masih terus mengemban kepercayaan warganya dengan kembali terpilih pada Pilkades tahun 2020 lalu.
Nuse, walau letaknya terpisah, tetapi tak jauh dari pulau Rote. Tepatnya di pantai Tongga dan Say, desa Mbueain Kecamatan Rote Barat, bentangan pasir putih dapat dilihat dengan mata telanjang.
Apalagi disaat langit sedang cerah, sinar matahari yang dengan bebas memantulkan panorama indah pada laut yang mengelilingi pulau Nuse. Air laut yang jernih berwarna hijau kebiruan, merupakan magnetnya pulau Nuse.
Dari keindahanya itu, tak heran kalau pulau Nuse, saat ini mulai ramai dikunjungi. Banyak pengunjung berbondong-bondong melakukan penyeberangan dengan menumpangi perahu-perahu nelayan. Dengan tarif yang begitu murah, setiap penumpang hanya ditarik biaya senilai Rp. 25.000 per orang.
“Kalau untuk penumpang, katong patok Rp. 50.000 per orang. Tapi itu untuk Pulang Pergi (PP). Dan biar lagi ramai pun, katong tetap pakai tarif itu,” kata Okto Pasole, salah satu pemilik perahu dari pulau Nuse.
Harga yang relatif murah itu, diakuinya sudah digunakan beberapa kali dengan mengangkut sejumlah wisatawan lokal. Jasa atau biaya angkutan diakuinya, masih bisa dinegosiasikan jika pengunjung yang datang dalam rombongan.
“Kalau rombongan, beda lagi. Bisa Rp. 500.000 atau Rp. 400.000, antar dan jemput. Tergantung hasil nego dengan jumlah orang,” kata Okto.
“Sekarang memang ramai sekali. Karena saat ini adalah puncak musim bunga-bunga yang berwarna Ungu, hingga awal bulan Juni. Dan karena banyak, sehingga disebut padang ‘Janda’. Pengunjung yang datang dengan manfaatkan hari libur Idul Fitri,” ungkapnya.
“Bukan saja dari Rote, dari Kupang hingga luar NTT juga ada. Mereka datang cuma mau foto-foto di padang langsung pulang. Ada juga yang nginap satu malam baru balik,” ungkapnya lagi. (*/ROLLE/TIM)